Aku = feminim

Aku setelah "berlayar lagi", akhirnya mulai singgah ke pelabuhan baru. Aku gak bisa memastikan apakah akan menetap atau kembali berlayar. Yang pasti, aku akan singgah, memperhatikan, merasakan, menikmati dan kemudian akan memutuskan. Yah, aku sedang dimasa menikmati hidup.
Jujur, setelah "berlayar lagi" gak mudah sampai disini. Lebih ke takut sih, takut kecewa lagi. Sakit juga. Teringat, ya pastilah. Rindu, yaiyalah. Aku juga kadang berpikir apakah keputusanku salah? Ada rasa takut untuk kembali. Sebuah quote berkata "kembali ke masa lalu, membuka lembaran yang sama". Walau, aku gak menutup apapun kemungkinan kedepannya. Yang aku sangat yakin dan aku percayai, Allah selalu tahu yang terbaik untukku, dan tugasku hanya menjalaninya aja, gak pasrah tanpa melakukan apa apa ya, tepatnya lebih ikhlas. Toh, waktunya Allah dan takdir Allah yang terbaik. 
Sejak di pelabuhan baruku, banyak sekali yang merubah cara pandangku. Yang ku dapat, aku menjadi lebih "feminim", dan aku suka. 
Aku merasa, dulu aku adalah orang yang ambisius, keras kepala, aku selalu merasa aku bisa sendiri, dan aku bisa melakukan apapun. Aku independent! Begitulah pikirku.
Tapi, makin kesini, apalagi dia dekat denganku sekarang, aku jadi pada dasarnya perempuan. Aku bisa mengeluarkan semua sisi feminim ku. Lemah, lembut, dan lebih penyayang. Ya, aku sudah tau ternyata aku lemah. Aku butuh semua bantuan dia. Aku butuh dia nasehatin. Aku butuh di bilang salah dan diberitahu yang benar. Aku perlu di bimbing dan di arahin. Ini sesuatu hal yg baru, karena karakteristik wanita minang pada dasarnya dominan dan itu terasa jelas di keluargaku. 
Ternyata, sebagai wanita aku gak mau menjadi dominan. Aku mau menjadi lembut. Maksudnya, gak mau terlalu keras dengan hidup. Ya, sekenanya saja. Aku juga sekarang, dari semua yang kupelajari dihidup, perkara yang aku tangani, pengalaman yg ku hadapi, meyakini bahwa perempuan tidak di rancang untuk bekerja sebegitunya layaknya laki-laki. Maksudnya bukan gak bisa ya, hanya tidak di rancang. Perempuan bisa bekerja di pekerjaan laki-laki, iya bisa. Apakah bisa bekerja layaknya laki-laki, aku di tim "tidak bisa". Karena, walau diusahakan memakai logika, perempuan akan tetap memakai hati (walau aku sekarang menemui wanita yg tidak memakai hati, ya mungkin beda pengalaman hidup). Bukan bearti perempuan tidak bisa memimpin ya, kalau baca buku Sarinah karangan pak Soekarno, kalian akan dibawa kecerita salah satu suku menjadikan wanita itu pimpinan di daerahnya karena pria pergi bekerja keluar, jadi pemerintahan di wilayah itu di pegang oleh wanita. Intinya, perempuan bisa memimpin.
Setelah bersama dia sekarang, aku jadi merasa seperti "aku akan bekerja semampu aku, aku tidak akan memaksa "harus" lagi. Karena, aku sekarang menemukan, aku tidak dirancang Allah untuk bekerja seperti laki-laki". 
Aku sering dimarahin dia, yg juga dikantor sebagai atasanku, untuk bekerja memakai logika, tidak hati. Iya, aku pakai logika, tapi tetap, hati pun turut ikut campur tanpa aku minta. Sampai aku pernah ngobrol sama Ibu Ketua Mahkamah Syariah di kotaku bekerja kalau aku sering di marahi untuk tidak memakai hati, jawaban ibu ini adalah "yah kita mau kerja pakai logika, Lan, tapi kita perempuan, hati tetap kita pakai. Itulah gunanya perempuan bekerja di bidang ini (hukum), untuk memberikan nilai dan pendapat baru. Kita gak mau, tapi dia muncul. Itulah hati seorang ibu dalam diri perempuan." Dan aku setuju.
Jadi, setelah aku sadar, tiba-tiba aku kembali seperti perempuan pada dasarnya. Aku suka bebersih,memasak,merawat. Sesekali aku membayangkan suatu hari aku akan dikasih pilihan apakah akan merawat keluargaku atau bertahan untuk mencapai karir. Saat ini, sampai saat aku menulis ini, aku memilih untuk merawat keluargaku. 
Aku sempat mengatakan ke dia, "jikalau Allah mengizinkan dirimu menjadi pasanganku, teman hidupku, aku akan bekerja sekenanya saja, bukan bearti tidak bertanggung jawab dengan tugas yang di berikan, hanya saja, aku tidak akan terlalu royal. Maksudnya, asalkan dirimu bisa menafkahiku, memenuhi kebutuhanku lahir dan bathin, aku akan fokus dengan peran istri yang utama, dan menjadikan pekerjaanku adalah bonus." Bukan bearti aku menyianyiakan uang rakyat untuk menggajiku ya, tapi lebih ke prioritas. Saat memang dibutuhkan negara, aku akan menjalankan tugasku, tapi ketika keluarga membutuhkanku aku akan kembali ke keluarga. 
Dan dia menjawab setuju, asalkan aku tidak berhenti dari pekerjaanku. Bukan karena dia gk mau menafkahi, tapi lebih ke logika "kita gak tau kedepannya bagaimana." Dia juga ngelarang aku melepas jabatan ketika aku meminta menjadi fungsional saja. Dia bilang "itu rejeki dan titipan di kasih Allah, bearti memang itu kepercayaan dari Allah yang menyatakan diriku mampu. Jangan di tolak". 

Nah, aku intinya ingin mengatakan, aku merasa bahagia melepaskan feminimku dihidup ini. Aku merasa inilah hidupku. Aku gak mau menjadi dominan, aku ingin aku yang diatur. Aku gak mau menjadi nakhoda di kapalku, aku hanya ingin menjadi navigator. Aku akan menjalankan peranku sebagai pendamping. Aku ingin menjadikan rumahku nanti hangat, nyaman, tenang.
Entah siapapun nanti jodoh terbaik dari Allah dititipkan kepadaku, aku yakin dia akan menjadi pria yang bertanggung jawab sehingga aku akan menjadi wanita yang feminim. Karena, aku sudah merasa cukup dengan hidupku. Tidak ada goal goal yang terlalu ingin aku capai, selain rasa bahagia. Seperti kataku tadi, aku hanya menjalankan hidup yang Allah berikan kepadaku dengan ikhlas dan penuh rasa syukur. Kalau milikku, tidak akan melewatkanku, dan aku yakin itu.