Assalamualaikum pembaca Cuap Cuap. Sehat kan? Semoga
kalian semua selalu sehat dan masih mau membaca cerita aku.
Ini sudah aku draft dari awal januari kemarin. Aku pikir-pikir, di post gak ya.. akhirnya sekarang kalian tau jawabannya kan (kalau tidak tulisan ini tak akan pernah kamu baca).
Judulnya serem ya, ‘Anak Pejabat’. Apa ini? Siapa
emangnya anak pejabat? Jaman sekarang Aku rasa kata ‘Anak Pejabat’ dengan
segala tetek bengek kemudahannya sudah tidak di temukan lagi, yakan? Apa??? kamu lupa Lan dengan berita anak pejabat meminta perlakuan khusus di luar negeri kemarin? Masih ada loh kemudahannya. Yang orangtuanya terkenal di daerah aja sok berasa anak Presiden, nah anak Presiden yang asli saja sederhana sekali, malu dong ya.
Oke, aku mau cerita soal ‘Anak Pejabat’ yang aku
alami sendiri.
Sejujurnya, aku baru mengetahui kalau pekerjaan
ayahku itu keren sejak aku dikelas 5 SD, dan itu pun karena aku pindah ke
Tembilahan ikut ayah yang dinas disana setelah keluar dari Lhoksukon yang saat
itu Aceh masih daerah berkonflik (Alhamdulillah sekarang Aceh sudah tidak
berkonflik lagi dan sudah aman). Yah, hidup Aku di Tembilahan adalah masa yang
paling menyenangkan yang kurasakan sampai sekarang. Thanks a lot Allah, I love
you.
Lanjut!
Sebelum aku tahu kerjaan ayah aku itu keren, yang
aku tahu ayahku adalah hanya seorang pns biasa. Jadi kalau dulu aku bayangin
ayah aku itu kerja duduk di depan tumpukan kertas dan melayani masyarakat
mengurus surat-surat atau keluhan keluhan masyarakat. Tapi yang aku herankan,
ketika ayah aku datang ke sekolah pakai baju dinasnya –saat itu aku masih di
sekolah swasta di Binjai yang notabennya banyak anak orang banyak duit sekolah
disana- guru-guru akan sedikit bersikap manis kepadaku. Tapi karena memang
tidak ngerti kerjaan ayah aku apa, aku cuek bebek, toh nilai aku selalu
aman-aman saja disekolah.
Apalagi, keluarga aku saat itu tinggal di rumah
nenek dipihak ibu, dan ibu membantu memasak di dapur untuk rumah makan nenek,
jadilah aku tahu ibuku seorang pedagang. Usut punya usut, rumah makan nenekku
pernah dalam masa kejayaan di tahun 1980an-2000 awal.
Intinya, yang aku tahu keluargaku tidak susah dalam
keadaan ekonomi, dan ayahku adalah abdi Negara biasa saja.
Tapi! Banyak larangan yang aku rasakan. Mulai dari
menjaga kata-kata dimana kami tidak boleh berkata ‘aku-kau’ di rumah, berkata
sopan, menjaga prilaku, tidak boleh jajan sembarangan, diantar jemput, belajar mengaji di rumah –bukan di madrasah,
dimana saat itu hanya orang dengan ekonomi lumayan yang panggil guru ngaji
kerumah- pokoknya itu seperti tipikal anak-anak orang berada yang kamu lihat di
film keluaran 80an.
Itu saat aku belum tahu pekerjaan ayah aku.
Nah, setelah pindah ke Tembilahan, semua berubah.
Ternyata larangan-larangan yang selama ini dididik itu bermanfaat sekali.
Karena disana, ayah adalah salah satu orang penting di daerah itu, jadilah
kehidupan ‘anak pejabat’ aku di mulai. Dari semua yang biasa saja aku lakukan,
dulu tidak ada yang berkomentar, sekarang orang pada mulai berkomentar.
Contohnya, dulu aku itu tidak jago matematika. Aku
hidup dimasa anak pintar adalah anak yang pandai matematika. Sedangkan dulu itu
aku lumayan di pelajaran bahasa Indonesia
dan ilmu sosial. Dan disekolah lama aku, yang paling utama diajarkan
adalah perilaku –namanya juga sekolah didikan Yogyakarta-, pelajaran formal
matematika dan lainnya diajarkan, tapi –apa ya kata-katanya- disekolah yang lama etika its more important.
Jadilah, karena aku pindahan dari Medan katanya
padahal aku sudah bilang dari Binjai, tetap juga mereka bilang Medan, yang
notabennya adalah kota besar, aku di
kira merupakan anak yang pintar. Dan lagi, murid pindahan itu dimata banyak
orang adalah ‘artis’. Selama 4 kali menjadi murid pindahan, selalu saja
orang-orang penasaran dengan ‘siapa sih anak baru ini’.
Suatu hari aku disuruh maju ke depan kelas, -ini aku
sekolah di sekolah negeri sudah,- untuk mengerjakan soal matematika. Sejujurnya,
aku tidak hapal perkalian saat itu, jadi aku tidak tahulah yakan jawaban dari
pertanyaan di papan tulis, nah si bapak guru ini nyeletuk sambil bercanda ‘anak
pejabat dari kota besar, masa soal gini aja tidak bisa’. Itu hati seorang anak
berumur 11 tahun. Bayangkan sedihnya aku saat itu, teman-teman tertawa walaupun
aku tahu mereka tertawa karena celetukan bapak itu bukan karena aku yang tidak
bisa menjawab soal di papan tulis. Dan lagi untuk pertama kalinya aku tahu
bahwa aku bergelar ‘anak pejabat’.
Nah, aku dulu itu bukan anak yang pedean, aku agak pemalu
walau sering ikut lomba fashion show tingkat kelurahan. Aku kaget saat di kelas
aku, anak-anak disaat tertentu disuruh bernyanyi satu-satu ke depan kelas. Aku
tidak pandai nyanyi, sedangkan di sekolah yang lama kami bernyanyi bak paduan
suara lagu-lagu nasional dan lagu mars sekolah bukan lagu-lagu yang hits di
jaman itu. alhasil, saat giliran aku, aku hanya diam dan tidak mau bernyanyi,
kata-kata itu lagi keluar dari si bapak dan lagi-lagi teman-teman tertawa.
Setelah itu, aku bertekad untuk belajar, disinilah awal mula aku mulai rajin
belajar, dan mulai peduli nilai.
Allah baik padaku. Aku bertemu dengan wali kelas di
kelas enam yang care dengan muridnya. Sebelumnya nilai aku dari sekolah yang
lama itu bagus, Alhamdulillah sering masuk 10 besar, sudah ku bilangkan, disini
yang penting adalah etika, bukan nilai pelajaran. Sedangkan di sekolah yang
baru, benar-benar nilai pelajaranlah yang di nilai.
Wali kelas aku ini, mengecek satu-satu tugas kami,
dia rajin ngasih ulangan, dan lagi setiap ulangan atau pr harus pakai agenda
yang di tandatanganin orangtua. Selama ini aku tidak peduli pr dan tidak pernah
mengerjakan pr. Alhasil karena aku tidak mau dimarahi ibu dengan nilai
jelek,aku berusaha belajar keras, mengerjakan pr, nelpon dan kirim sms ke kak eka
untuk belajar matematika, baca buku pelajaran, pokoknya tiada hari tanpa
membaca.
Wali kelas aku ini setiap seminggu dua kali ngadain
les di rumahnya, seringnya matematika yang diajarkan. Sudah aku bilang, aku
tidak pandai perkalian, alhasil si ibu sering mengajarkan aku setelah selesai
les matematika. Alhasil, saat
pengumuman UN nilai aku bagus dan hampir mendekati nilai rangking 10 di kelas.
Gak masalah gak masuk 10 besar, yang penting nilai aku bagus.
Disitulah, ternyata ‘anak pejabat’ itu harus pintar.
Di SMP, masih di kota yang sama, aku sudah mulaii
merasakan ke istimewaan ‘anak pejabat’. Sihiii. Gak deng, hanya soal-soal
tertentu saja. Misalnya, aku masuk OSIS, ya itu berkat ayah aku, tapi OSIS
tahun ke dua, itu berkat diriku sendiri. Nah sedihnya, saat aku masuk 5 besar
semester pertama di kelas –mungkin karena masih terbawa rajin saat itu-
mulailah ada gonjang ganjing di kelas. ‘wajarlah dia rangking diakan anaknya
pejabat, wajarlah dia dapat jabatan di OSIS diakan anaknya pejabat’. Dan aku
pun mulai bertekad lagi. Tekad aku ‘semester depan harus naik satu tingkat
rangkingya’. Begitu… dan aku juga di pilih kembali masuk OSIS di kelas 2 juga
bukan karena ayah, tetapi karena rekomendasi walikelas sebelumnya. Aku dapat
surat dan hanya tiga orang dari kelas aku, and im proud menjadi salah satunya.
Aku bangga karena, wali kelas aku ini secara kasatmata dia tidak peduli aku
anak siapa dan memperlakukan aku sama seperti anak-anak lainnya (contohnya,
saat remedial, aku juga kenak, saat ada dimarahi dikelas, aku juga kenak, gak
piket, kenak juga). Dan Alhamdulillah dapat jabatan penting saat itu, walaupun
aku harus pindah dua bulan kemudian.
Begitulah, hidup aku di Tembilahan penuh semangat
untuk belajar dan pembuktian diri. Aku berterimakasih pada semua teman-teman
aku yang sampai sekarang pun masih berhubungan baik lewat sosial media walaupun
aku sudah tidak tinggal disana lagi.
Oke aku pindah kembali ke Binjai, dan kau tau
pembaca, aku bukan ‘anak pejabat’ lagi disini.
Setelah pindah kesini, adalagi nih pengalaman pahit.
Disekolah baru aku ini, bukan anak orang sembarangan yang bisa pindah kesini,
alhasil di awal-awal aku jadi ‘artis’ aku harus membuktikan diri lagi kalau aku
pantas ada disana. Tapi aku gagal!
Aku masuk peringkat 27 di kelas. DUAPULUH TUJUH dari
sebelumnya disekolah yang lama aku memegang peringkat empat. Aku nangis.
Meraung. Sampai akhirnya walikelas aku datang untuk menenangkan aku. Mungkin
karena masih ada jiwa-jiwa bersaingnya saat itu, si walikelas dengan rambut
dora lucu nantangin untuk semester selanjutnya naikkan nilai, dan Alhamdulillah
I get my position lagi. Yeeei.
Sayangnya, saat SMA aku sudah tidak peduli lagi
dengan nilai, aku hanya focus ke masa depan. Dan lagi, aku dari proses masuk SMA
hingga kuliah, aku pakai kemampuan aku sendiri. Jadinya ya gitu, pengalaman di
SMA punya tempat tersendiri karena semua yang aku dapatkan hasil usaha sendiri.
Tapi tetap, aku kadang merasa gelar ‘anak pejabat’
masih ada di diriku. Kadang aku mendapati bahwa teman-teman aku masih agak
sungkan dengan aku. Sungkan begini maksudnya, tutur kata aku masih terbawa,
jadi saat mereka kaadang berkata kasar aku agak risih, jadinya mau tidak mau
dengan aku, mereka jadi harus berkata sopan juga. Saat mereka makan jajanan di
sekolah,aku masih milih-milih dan gak sembarangan makan, yah masih seperti itu.
tapi so far yang aku tahu, mereka tidak tahu pekerjaan ayah aku apa dan hanya
berteman memandang diriku -sekarang udah taulah yakan we-.
Jadi sebenarnya, enak atau ngak enak, tetap diri
sendiri sih yang harus membawanya ke arah mana. Tapi, menjadi anak dari seorang yang terkenal, dimana pun, aku rasa tetap sama saja. Di bayangin nama besar orangtua, anak punya peran besar untuk menjaganya tetap baik. Walaupun kadang, apa yang kita dapatkan dengan usaha tetap disangkut pautkan dengan orangtua, sedih sih memang, tapi tetap saja harus tunjukin diri 'aku bisa'. Menjadi anak dari orang penting itu, baiknya tidak memakai nama besar orang tua untuk kepentingan pribadi, apalagi untuk melangar peraturan, itu gak keren.
Sekian
Ulan