Assalamualaikum
pembaca. Yang menemukan cerita kali ini, aku yakin adalah orang yang mulai
jenuh dengan kehidupan per-sosial media-an, yakan? Hayo ngaku.
7 November 2017 adalah
hari terberat –agak- dihidup aku. Ya, aku kecanduan instagram,, facebook,
twitter serta youtube. Yang paling sering aku buka adalah instagram dan
youtube. dan di tanggal ini, aku menutup –sementara- akun instagram.
Apa yang aku lihat di
instagram dan sosmed lainnya? Macam-macam. Orang pamer, orang yang menggila,
orang yang marah-marah, orang yang alim, jualanan, nasehat dan banyak lagi. Aku
hanya melihat historigram dan postingan, sesekali aku juga mengupload fotoku
dan berusaha memakai caption yang lucu, kadang maksa lucu.
Aku teringat seorang
teman waktu jalan-jalan ke Jakarta dulu cerita, kalau calon suaminya menegur
karena dia terlalu banyak posting historigram maupun foto di instagram, karena
saat itu memang dia dalam satu waktu beberapa kali mengupload, dan calon suami
takut kalau itu adalah sebuah riya, bagus sih menurut aku, self reminder gitu
jadinya. Dia cerita sih, gak curhat, tapi meminta pendapat. Saat itu kami
sedang menikmati hidup dengan bermain, bertemu teman yang tinggal disini,
jalan-jalan melihat kebudayaan, jadi suatu hal yang wajar aku rasa untuk kami
–bukan orang Jakarta- untuk memberi kabar ke teman bahwa ‘kami sudah kesini
loh, kami ketemu disini, ayo main kesini’, begitu.
Aku yang saat itu
berkata, “iya memang kita riya. Kita memang pamer kita berada dimana, sama
siapa, ngapain aja kan memang mau ngasih tau ke orang-orang apa yang kita sudah
punya. Sosmed memang tempat ajang pamer menurut ulan.”
Jujur, aku juga pamer.
Ketika khalila bisa nyanyi, aku posting. Ketika khalila tidur lucu, aku
posting. Ketika khalila mengucapkan sayang padaku, aku posting juga. Saat aku
sedang bersama temanku jalan ke mall, aku posting lagi, ketika aku mendapatkan
makanan enak, aku posting, dapat nilai bagus, posting, dapat nilai jelek,
curhat, posting lagi, karoke, nah kubiarkan orang mendengarkan suara merduku,
ku posting juga. Semualah aku posting. Sebenarnya niatku adalah menunjukkan ini
loh yang buat aku bahagia, ini loh yang aku lakukan, ayo dong beli ini gak
nyesallah kelen –promosiin barang maksudku- ini loh yang terbaik bagiku, ini
loh kawan-kawan keren aku, jadi aku sebenarnya gak sendiri, aku punya apa yang
kelen punya.
Dan aku juga pamer di
salah satu akun igku bahwa aku bisa motret bagus dan ngedit video dengan baik,
aku berharap yang ini adalah hal baik yang dapat menginspirasi orang.
Makin kesini, aku jadi makin banyak memikirkan hal.
Ada disuatu saat aku
merasa tidak punya teman,dan aku kesepian. Aku memposting di historigram suatu
kalimat yang galau, teman sosial mediaku pun bertanya, ‘ada apa?’ dan aku bercerita. Aneh aku rasa. Aku
berpikir, ini yang aku inginkan? Mereka bertanya aku menceritakan lalu mereka
menghiburku. Dan ternyata, tanpa disadari aku menceritakan ke semua
teman-temanku, bahwa aku galau. Hal bodoh ternyata yang aku lakukan karena
tidak ada privasi lagi di hidupku ini.
Ada dimana –sering- aku
menemukan, ketika aku dan teman sosmedku yang komenan, dman, terlihat
akrab dan saat tak sengaja bertemu, kami
tak berbicara satu dengan yang lain. Aku merasa, kok begini? Sejujurnya, aku
selalu berusaha menjadi sama antara dunia nyata dan dunia maya, tetapi tidak
semua orang seperti itu. Aku sedikit kecewa dengan yang seperti ini. Dan aku
ingin menambah teman di dunia nyata. Jadi kalau kamu membaca tulisan ini, ayo
kita saling menyapa di dunia nyata.
Ada lagi nih, sosmed
membuat aku tahu kehidupan, kadang yang paling pribadi dari seseorang. Aku
melihat orang curhat tentang rumah tangganya, pertengkaranya, percintaannya,
apa yang dia inginkan dan tidak inginkan. Kadang aku mau bilang, ‘aku gak butuh
tau itu’ tapi pada kenyataanya dia tidak minta aku lihat, tapi aku yang
melihatnya. Aku menemukan kebodohanku selanjutnya.
Dan kadang lagi,
ternyata sebuah postingan dapat diartikan berbeda oleh beberapa orang dan
memicu alasan untuk bertengkar. Aku merasa pernah mengalami ini.
Apalagi ya, aku pikir sebentar.
.
.
.
Aku sadar kalau aku
terlalu banyak –bahasa kerennya to much (apasih, gak penting)- mengumbar
kehidupanku ketika teman baikku berkata ‘ntah apa aja yang ulan share di
historigram, banyak kali’, gitulah kira-kira bahasanya, dan disana aku merasa
ternyata ada juga yang terganggu dengan postinganku, seperti aku yang terganggu
dengan postingan temanku. Teman baikku yang lain malah berkata ketika aku
cerita hal ini‘ngapain sih lan ngedengerin apa kata orang lain, do what you
want ajalah’.
Dan lagi, waktu yang
kuhabiskan terlalu banyak di sosial media. Aku merasa sosial media adalah
sumber info tercepat dibandingkan Koran online manapun. Misalnya, macet, aku
tau di wilayah mana yang macet ketika temanku ngeposting.
Banyak baiknya juga sih sosial media ini.
Nah, kenapa sempat
menutup sementara instagram? Karena aku jenuh dengan melihat hidup orang lain. Tapi
aku masih pakai facebook dan twitter dimasa ini. Kenapa? Facebook karena aku
ada urusan dengan beberapa orang yang hanya bisa di hubungi dari facebook, dan
twitter, karena aku saat itu sedang mengikuti cpns (yang gagal perkara kurang 3
point, Alhamdulillah, ini yang terbaik dari Allah, Insyaallah Allah akan
menggantinya dengan yang sangat dan lebih baik dari yang aku harapkan, amiiiin)
memerlukan informasi dari salah satu akun resmi pemerintah.
Aku senang menjalani
hidup tanpa instagram saat itu (sekarang ulan udah aktif lagi) aku lebih banyak
berbicara dengan orang sekitarku. Aku lebih banyak baca artikel, aku jadi lebih
tenang belajar untuk cpns kemarin. Sebenarnya bisa juga sih dengan mengaktifkan
instagram, tapi aku tau batas dan kemampuanku. Aku tau bahwa dengan instagram
aku aktifkan, aku tidak bisa mengatur waktu untuk belajar.
Aku juga menemukan
teman-temanku ternyata kehilangan aku. Aku akan capslock, KEHILANGAN. Aku kan
tadi sempat bilang, aku kesepian. Aku merasa pertemananku dengan orang-orang
adalah semu. Dan aku merasa bahagia ketika teman baikku mengkhawatirkan
keadaanku karena dia tidak menemukanku di instagram. Ketika teman baikku
mengechat pribadi ke aku bertanya kabar , bukan mengetag namaku dari foto postingannya.
Aku bahagia ternyata ada yang khawatir aku block ignya karena aku merasa mereka
ingin menjadi temanku (maaf we, kalau memang tidak mengganggu hidupku, aku
tidak mengeblock orang sembarangan, apalagi orang yang pernah tertawa
bersamaku) . Ternyata yang akuinginkan adalah perhatian yang tidak usah di
umbar. Yah, dengan hal sederhana ini aku bahagia.
Tapi, ada baik ada buruknya
juga yakan. Aku saat menutup instagram tidak tahu berita yang lagi hits
sekarang. Kebanyakan gossip artis sih. Tapi berita lain yang viral aku pun
tidak tahu.
Ini yang mengejutkan
bagiku. Aku pernah mengira, jaman now semua orang yang paham menggunakan gadget
pasti punya sosial media untuk posting dan bercerita apa yang dilakukannya. Ternyata,
masih ada orang yang tidak punya sosmed berlebih. Aku dulu tidak paham, di
jaman sekarang orang yang gak pamer tentang hidupnya ada, ternyata ADA dan lebih dari satu orang. Pertama adalah
si abang yang sering duduk satu meja denganku saat kuliah, dan satu lagi adalah
si abang calon hakim dikelasku. Mereka mungkin memang sudah punya akun, tapi
mereka tidak mempergunakannya seperti banyak orang menggunakannya. Aku sih
salut dengan mereka yang tidak terkontaminasi pemikiran ‘semua harus tahu
hidupku’.
Itulah, aku akan berusaha mengurangi pemakaian
sosmed berlebih,karena, sesuatu yang indah dan menyenangkan hati ingin aku
simpan sendiri (dan dia, kalau ada) dan tak ingin ku bagi dengan siapapun. Sihiiii.
Aku akan berusaha hanya share 1/10 dari
hidupku (walaupun pada kenyataannya aku akan share 8/10). Bukannya itu sudah
cukup untukmu teman mengetahui kabarku hari ini?
Sekian. Ambil yang baiknya, lupakan yang buruknya
dari tulisan ini, please.
Wassalamualaikum.
Binjai, 8 Desember 2017