Assalammualaikum.
Aku sepertinya harus merubah kebiasaan ngenote apa yang mau ku tulis di dalam
otak, karena tidak akan bertahan lama ingatan di otakku. Hahaha. Alhasil, ku
tak menulis-nulis blog berapa waktu ini. Ah, sudahlah. Bukan itu yang mau ku ceritakan
hari ini.
Aku
mau cerita tentang apa yang ku pelajari baru-baru ini di hidupku. TOLERANSI.
Aku tidak mengurung toleransi hanya dalam kapasitas agama saja, ternyata
toleransi itu bisa dalam berpolitik.
Tulisan
ini tercipta dari kejadian yang aku alami. Jadi begini,aku diminta untuk jadi
enumerator dalam suatu penelitian berkelompok dengan cowok-cowok teman kuliah
magisterku. Jadi, karena harus pergi bersama dan didalam perjalanan mau tak mau
harus mengobrol akhirnya segala macam kami obrolkan, sampai dalam pilihan
presiden nanti. Apakah masuk tim #gantipresiden2019 atau di tim #salam2periode
. Yang pasti aku di salah satu tim itu.
Nah,
di kendaraan hanya aku sendiri yang berbeda tim dari yang lain, dan setelah
mengetahui timku berbeda teman-temanku mulai merecokiku dengan istilah hewan
kecil (tak lain adalah panggilan untuk pendukung timku dari tim mereka) dan
bercerita padaku tentang bagaimana tidak berkompetennya pilihanku, menurut
mereka.
Aku
tidak terganggu, sumpah. Aku sadar aku tidak terganggu karena hatiku tak
merasakan apapun saat aku mendengar pembicaraan di dalam mobil tentang pilihan
mereka (sebelum mereka tahu aku tim berbeda). Aku hanya memilih diam dan tak
mengubris karena merasa tidak pantas untuk berdebat, karena toh aku pun menyukai
pilihanku karena hasil kerja beliau beberapa tahun belakangan ini yang aku
rasakan. Dan lagi,aku selalu merasa hak seseorang untuk memilih siapa pun yang
maju nanti. Dan aku menyebutkan aku tim yang berbeda dari mereka, agar mereka
tidak berghibah tentang kelakuan seseorang tanpa melihatnya langsung.
Nah,
kembali ke toleransi.
Bila
aku marah, kesal, gondok dan ikut-ikutan untuk berdebat menjelekkan pasangan
yang tidak ku pilih, apa gunanya aku sekolah tinggi? Bukankah perdebatan akan mengakibatkan
rasa kesal dan berujung pertengkaran. Sudah pasti menurutku akan ada rasa kesal
di hati bila kalah berdebat kan? Jadi ngapain dimulai. Ku tak ingin menambah
musuh apalagi karena hal yang sepele, padahal tujuannya sama, agar Indonesia
punya pemimpin yang baik. Aku pernah melihat ada orang yang berkampanye untuk
pasangannya tanpa menjelekkan orang lain, dia hanya bercerita tentang apa yang
dirasakannya dan dilihatnya, aku lebih menerima hal itu daripada membesarkan
nama orang dengan menjelekkan orang lain.
Aku
jadi tahu bagaimana gaya hidup berpolitik teman-temanku. Menurutku, mereka
tidak siap dengan perbedaan, mereka tidak siap dengan segala kemudahan
informasi yang diterima, tidak siap dengan kekalahan maupun kemenangan yang
akan mereka dapatkan. Kok aku bilang begitu? Karena sudah kodratnya lover gonna
be love and hater gonna be hate kata si mbak penjahit, seperti when you love
someone kan, kamu gak akan mendengarkan apapun kata orang lain tentang your
love . kamu hanya akan merasa dia sempurna. Jadi, gaya hidup yang di lakukan
temanku tidak menunjukkan kedewasaan. Aku membayangkan, bila mereka menang,
mereka akan merasa paling benar dan tidak akan merangkul yang kalah karena
merasa sudah benar, mereka akan merasa informasi yang dengan bebas mereka
dapatkan tidak dapat membilah-bilah mana informasi dari media sosial yang dapat
dipercaya, mereka tidak akan siap untuk mengaku kalah bila mereka kalah.
Sedangkan
menurutku, seorang siap untuk berpolitik ketika dia mengetahui hak orang lain
untuk mempunyai pendapat yang berbeda dengan mereka dan menghomatinya.
Menghormati perbedaan yang dimiliki orang lain dengan tidak menyakiti mereka
dengan kata-kata. Tahu bahwa pilihan dia berguna untuk merubah suatu bangsa. Dan
itu adalah kehidupan politik ideal menurutku.
Aku
jadi tahu bahwa latar belakang dan pergaulan seseorang mempengaruhi cara
pandang mereka. Seperti temanku ini, aku merasa oh mungkin karena latar
belakang mereka dulu sekolah agama berasrama, jadi mereka hanya bergaul dengan
mereka yang seagama. Sedangkan aku, aku dari kecil bersekolah umum dengan
orang-orang dengan latar belakang kehidupan yang berbeda dengan keyakinan yang
berbeda, dan itu asyik berteman dengan mereka yang berbeda. Aku terbiasa untuk
ngobrol dengan temanku yang berbeda pandangan denganku secara terbuka.
Maksudku, kami bercerita mengapa kami memilih keyakinan ini dan mengapa dia
memilih keyakinan itu, kita tidak harus mengikuti jalan pikirannya, toh
pengalaman hidup dan bagaimana cara setiap orang memandang dunia itu berbeda.
Bukan
bearti aku merasa orang yang sekolah agama berasrama tidak tahu toleransi,
bukan itu maksudku. Aku malah yakin mereka lebih tahu meaning dari toleransi
itu sendiri karena belajar langsung dari Al Qur’an and Hadits, atau langsung
dari Alkitab mereka, itu cukup lengkap bagiku untuk mengerti toleransi. Hanya
saja, karena mereka terbiasa dengan orang yang sama sudut pandangnya, mereka
punya tantangan lebih besar di kehidupan bermasyakarat yang plural begini untuk
menerima perbedaan yang ada.
Dari pengalamanku, teman dekatku juga pernah
begini karena dia selalu dalam lingkungan sekolah dan kehidupan masyarakat yang
homogeny, sehingga ketika di kampus yang penuh dengan berbagai orang, awalnya
dia tidak menerima perbedaan, tapi hidup mengharuskan kita berinteraksi dengan
mereka yang berbeda dengan kita, akhirnya dia mencoba bergaul dan menerima
perbedaan tanpa mengganggu keyakinannya. That is good true story yang pernah ku
lihat dengan mataku sendiri.
Nah,
aku sudah bilang aku tidak terganggu dengan mereka yang merongrongku dengan
berbagai cerita dan video tentang bagaimana tidak berkompetennya timku. Bener
memang. Jadi kenapa nulis begini? Karena, aku mau orang yang membaca tulisanku
ini, ketika dia gondok, kesal, marah dengan orang yang menjelekkan pilihannya,
dia bisa berbesar hati untuk menerima suatu perbedaan dan tidak berlaku negative.
Yah, perbedaan adalah suatu masalah bila kamu merasa semua harus sama dan akan makin runyam bila kamu mengandalkan
emosimu, itu akan menjadi cikal bakal perang saudara menurutku. Dan lagi, Aku
hanya ingin agar suatu ketika aku membaca tulisanku lagi, aku tahu aku pernah
merasa seperti ini dan punya pengalam seperti ini. Ini cukup bagus bagiku untuk
pengalaman hidup bahwa orang tidak sama pemikirannya denganku dan aku harus
berinteraksi dengan banyak orang untuk mengetahui bagaimana cara mereka bergaul
dalam kehidupan sosial. Apalagi latar belakangku ilmu sosial dan melihat dampak
suatu proses interaksi dalam kehidupan merupakan hal penting bagi kami untuk
dapat memberikan suatu reformulasi menyelesaikan masalah perbedaan. Aku
beruntung, Allah SWT memberikan pengalaman langsung dihidupku. Alhamdulillah.
Dan
menurutku, mungkin teman-temanku ingin menjaga negara yang kita cintai ini
dengan memilih presiden yang menurutnya baik dan dia mengajakku untuk memilih
pasangannya dari sudut pandangnya, tapi bagiku yang terbaik bukan pilihannya
itu. Hal yang biasa berbeda pilihan, hanya saja tidak perlu sampai terlalu
memaksakan kehendak pada orang lain, tidak perlu menjelek-jelekkan pasangan
lain, tidak perlu sampai bercerita hal yang hanya di dengar dari orang lain dan
dilihat dari potongan-potongan video. Toh, semua orang diberikan kesempatan
untuk menilai siapa yang terbaik untuk memimpin negeri ini dengan bebas. Aku
hanya percaya bahwa Allah SWT tidak akan mengirimkan pemimpin yang buruk untuk
negaraku ini karena masih banyak orang yang berdoa untuk kebaikan Indonesia.
Dan lagi, as always kan ya kalau berdoa di pimpin petinggi agama kita mendoakan
kebaikan untuk pemimpin kita, makanya Allah SWT itu baik dan akan mengirimkan
pemimpin yang amanah sesuai permintaan umatnya, karena kita telah meminta.
Kalau
sudah percaya hal itu, kenapa mesti menjelekkan pasangan yang tidak kamu pilih
kepada peminatnya?
Salam
Sayang
Ulan